Ahmad K. Syamsuddin
“Goll…!” teriak bocah dekil itu sambil mengangkat kedua tangannya. Ia BERLARI kegirangan dan memamerkan jejeran rusuk yang menonjol dari legam kulitnya. Tubuhnya mengkilap bermandi keringat, memantulkan sinar matahari yang kuning kemerahan. Di suatu sore, di sebuah jalan sempit yang setiap hari berubah fungsi menjadi pasar darurat. Pasar yang tiap pagi dipadati beragam orang dari bermacam tempat. Entah kapan pasar itu terbentuk, mungkin sejak pasar induk tidak mampu lagi menampung luapan kaum urban yang sebentar saja sudah menyesaki kota.
“Kenapa bisa gol?,” separuh bergumam, seorang bocah menyayangkan temannya yang menjadi gawang. dipungutinya bola plastik yang telah tercemplung di selokan. Sebentar kemudian bola itu sudah ditendangnya, dan kembali mereka bermain tanpa perlu peduli bola yang telah berkali-kali jatuh ke got. Kembali mereka bermain, juga dengan keringat yang kian berkilat-kilat.
Tak lama suara azan dari mesjid di lorong sebelah menyela. “Lepas magrib, kita sambung. Pasti kami menang,” seorang bocah yang dipanggil Aco berteriak dan permainan itu berhenti. Sambil meraih bajunya, ia mendongak sekilas ke atas tiang listrik yang baru saja dipasangi lampu, ia bergumam pelan dan lirih, “lampu itu belum menyala”. berjalan. Sebentar kemudian yang lain mengikutinya masuk ke lorong. Lorong sempit di belakang sebuah rumah kayu berlantai dua yang agak kumuh. Dan jalanan itu kembali sepi. Hanya ada dua orang yang asyik bermain catur yang sejak tadi tak terusik dengan gaduhnya anak-anak yang berebut bola. Seorang ibu keluar dari lorong tersebut, tampak mencari sesuatu lalu masuk lagi. Lalu jalan itu sepi kembali. Tidak terusik, dua orang tua tetap bermain catur. Diam. Satu jam lebih.
“Ah, sudah petang. Sudah hampir azan.” Ucapnya sambil mengemasi buah caturnya.
“Oke, besok lagi” kata yang satunya. Memandang senja lalu tersenyum, memakai sendal lalu mengikuti bapak tersebut, juga ke lorong belakang rumah. Lorong itu berada diseberang selokan besar dan hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan dari kumpulan kayu-kayu bekas bongkaran bangunan. Bau. Dan setiap malam, ada saja yang membuang hajat di selokan itu. Selokan itu sudah ada sejak awal zaman pembangunan dan bersamaan dengan terbentuknya pasar darurat itu, belasan tahun yang lalu. Sejak itu juga selokan itu menjadi tempat sampah yang sangat panjang. Tapi entah mengapa kali ini semuanya jadi begitu jelas. Jauh lebih jelas dari ribuan malam sebelumnya
Kali ini senja terasa cepat sekali turun. Dan sebentar saja pemuda-pemuda belasan tahun, yang masih menebarkan aroma sabun mandi, duduk diatas meja bekas penjual sayur dan mulailah mereka mengandai, mereka adalah tokoh utama yang dikelilingi banyak wanita dan keajaiban. Mereka berkumpul dibawah benda yang mengeluarkan cahaya putih kekuningan, yang awalnya, agak sulit menyebutkan namanya dan hanya menyebutnya dengan sekedar, sebagai; lampu.
Lampu itu lampu merkuri 250 watt yang dipasang beberapa hari yang lalu, oleh beberapa orang yang berseragam merepotkan dan bersepatu sol karet yang tebal. Lampu itu membawa perubahan yang terkesan janggal. Seperti ada sebuah yang dipaparkan oleh hadirnya lampu itu, dan begitu telanjang. Meja penjual ikan yang ditumpuk begitu saja setelah pasar usai tampak jelas dan kotor. Terangnya lampu itu menggarisbawahi betapa kumuhnya jalan ini. Anyir sisa air ikan yang ditumpahkan begitu saja menjadi semakin tegas. Juga sampah-sampah yang menggenang tampak lebih nyata, mengapung diatas selokan. Bangkai tikus kelihatan jelas berulat. Semuanya menyerap sinar putih kekuning-kuningan itu. Sinar itu menegaskan pada sekian indera, tak hanya mata, tetapi juga yang lainnya. Sinar merkuri itu membuat semuanya begitu jelas dan semakin jelas. Sinar itu seolah memperpanjang waktu siang. Dengan sinarnya, malam serasa tidak pernah datang. Hari terasa semakin panjang dan waktu untuk memandangi kumuhnya jalan ini juga semakin panjang dan terasa ada yang menusuk, tidak hanya kepadaku tapi juga disegenap hati orang-orang disepanjang jalan dan disudut-sudut lorong itu.
“Ada keanehan yang saya rasakan,” seorang berbisik kepada seorang yang lainnya. Di suatu malam ketika sekumpulan orang tua yang hanya bersarung asyik berbincang tentang malam dengan ditemani kopi tubruk dan goring ubi. Sebelumnya mereka asyik berbincang tentang nomor buntut, bola juga pertandingan domino yang digelar di kelurahan seminggu yang lalu sambil memndangi anak-anak mereka yang sedang bermain bola..
“Keanehan apa?” yang lainnya menyahut.
“Saya baru sadar betapa kumuhnya jalan ini. Dan saya jadi sadar, kalau selama puluhan tahun saya besar dan tua di jalan ini”
“Saya juga mulai merasakannya,” sahut yang lainnya.
“Saya asing. Iya, asing,” seorang menjawab tergagap lalu diam.
Lalu, “Aco, Ali, ayo masuk nak, pergi tidur sudah malam!” Teriak seorang bapak dengan suara yang berat dan lamban. Jalan itu langsung sepi, tak ada lagi yang tinggal bermain bola. Tinggal bapak-bapak tua itu, ditepi jalan dibawah lampu.
Semuanya serentak memandangi sinar yang menghujani mereka. Sinar putih kekuningan. Sinar merkuri. Kemudian mereka menoleh ke kumpulan orang-orang mabuk yang bernyanyi di bawah merkuri lainnya, disudut jalan lainnya. Lalu satu persatu masuk ke lorong gelap di belakang bangunan kayu bertingkat, sambil tertunduk. Diam. Lalu sepi
Malam ini malam ketujuh jalan di depan rumahku terlihat sepi, tak ada lagi anak-anak muda tanggung yang berbicara tentang mimpi. Tak ada bapak tua yang main catur. Tak ada lagi bocah-bocah yang keringatnya berkilat-kilat memantulkan sinar lampu ketika sedang bermain bola. Juga tidak ada lagi pemabuk-pemabuk yang ribut bernyanyi di sudut jalan lainnya. Semuanya seperti tersadar betapa kusamnya potret tempat mereka pernah menggantungkan harapan. Betapa kumuhnya hidup mereka selama ini. Yang tinggal hanyalah sinar merkuri itu. Tampak kesepian dengan sinar putih kekuningannya, hanya ditemani sampah, anyir selokan dan kumuhnya malam.
Malam ini terasa agak lain. Sinar itu sudah tidak ada. Entah kapan lampu Merkuri itu pecah. Jalanan jadi gelap kembali, tak berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Dan sejak itu satu persatu anak-anak muncul kembali, bermain petak umpet. Juga pemabuk-pemabuk mulai minum lagi diatas meja penjual ikan, tepat di bawah lampu merkuri yang sudah pecah bohlamnya. Irama jalan itu kembali lagi. Jalan itu memang masih tetap kusam dan kumuh tapi lampu itu juga sudah pecah, bersama menguapnya keterasingan. Mungkin, di jalan itu tak ada lagi yang menyesali nasib.
“Goll…!” teriak bocah dekil itu sambil mengangkat kedua tangannya. Ia BERLARI kegirangan dan memamerkan jejeran rusuk yang menonjol dari legam kulitnya. Tubuhnya mengkilap bermandi keringat, memantulkan sinar matahari yang kuning kemerahan. Di suatu sore, di sebuah jalan sempit yang setiap hari berubah fungsi menjadi pasar darurat. Pasar yang tiap pagi dipadati beragam orang dari bermacam tempat. Entah kapan pasar itu terbentuk, mungkin sejak pasar induk tidak mampu lagi menampung luapan kaum urban yang sebentar saja sudah menyesaki kota.
“Kenapa bisa gol?,” separuh bergumam, seorang bocah menyayangkan temannya yang menjadi gawang. dipungutinya bola plastik yang telah tercemplung di selokan. Sebentar kemudian bola itu sudah ditendangnya, dan kembali mereka bermain tanpa perlu peduli bola yang telah berkali-kali jatuh ke got. Kembali mereka bermain, juga dengan keringat yang kian berkilat-kilat.
Tak lama suara azan dari mesjid di lorong sebelah menyela. “Lepas magrib, kita sambung. Pasti kami menang,” seorang bocah yang dipanggil Aco berteriak dan permainan itu berhenti. Sambil meraih bajunya, ia mendongak sekilas ke atas tiang listrik yang baru saja dipasangi lampu, ia bergumam pelan dan lirih, “lampu itu belum menyala”. berjalan. Sebentar kemudian yang lain mengikutinya masuk ke lorong. Lorong sempit di belakang sebuah rumah kayu berlantai dua yang agak kumuh. Dan jalanan itu kembali sepi. Hanya ada dua orang yang asyik bermain catur yang sejak tadi tak terusik dengan gaduhnya anak-anak yang berebut bola. Seorang ibu keluar dari lorong tersebut, tampak mencari sesuatu lalu masuk lagi. Lalu jalan itu sepi kembali. Tidak terusik, dua orang tua tetap bermain catur. Diam. Satu jam lebih.
“Ah, sudah petang. Sudah hampir azan.” Ucapnya sambil mengemasi buah caturnya.
“Oke, besok lagi” kata yang satunya. Memandang senja lalu tersenyum, memakai sendal lalu mengikuti bapak tersebut, juga ke lorong belakang rumah. Lorong itu berada diseberang selokan besar dan hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan dari kumpulan kayu-kayu bekas bongkaran bangunan. Bau. Dan setiap malam, ada saja yang membuang hajat di selokan itu. Selokan itu sudah ada sejak awal zaman pembangunan dan bersamaan dengan terbentuknya pasar darurat itu, belasan tahun yang lalu. Sejak itu juga selokan itu menjadi tempat sampah yang sangat panjang. Tapi entah mengapa kali ini semuanya jadi begitu jelas. Jauh lebih jelas dari ribuan malam sebelumnya
Kali ini senja terasa cepat sekali turun. Dan sebentar saja pemuda-pemuda belasan tahun, yang masih menebarkan aroma sabun mandi, duduk diatas meja bekas penjual sayur dan mulailah mereka mengandai, mereka adalah tokoh utama yang dikelilingi banyak wanita dan keajaiban. Mereka berkumpul dibawah benda yang mengeluarkan cahaya putih kekuningan, yang awalnya, agak sulit menyebutkan namanya dan hanya menyebutnya dengan sekedar, sebagai; lampu.
Lampu itu lampu merkuri 250 watt yang dipasang beberapa hari yang lalu, oleh beberapa orang yang berseragam merepotkan dan bersepatu sol karet yang tebal. Lampu itu membawa perubahan yang terkesan janggal. Seperti ada sebuah yang dipaparkan oleh hadirnya lampu itu, dan begitu telanjang. Meja penjual ikan yang ditumpuk begitu saja setelah pasar usai tampak jelas dan kotor. Terangnya lampu itu menggarisbawahi betapa kumuhnya jalan ini. Anyir sisa air ikan yang ditumpahkan begitu saja menjadi semakin tegas. Juga sampah-sampah yang menggenang tampak lebih nyata, mengapung diatas selokan. Bangkai tikus kelihatan jelas berulat. Semuanya menyerap sinar putih kekuning-kuningan itu. Sinar itu menegaskan pada sekian indera, tak hanya mata, tetapi juga yang lainnya. Sinar merkuri itu membuat semuanya begitu jelas dan semakin jelas. Sinar itu seolah memperpanjang waktu siang. Dengan sinarnya, malam serasa tidak pernah datang. Hari terasa semakin panjang dan waktu untuk memandangi kumuhnya jalan ini juga semakin panjang dan terasa ada yang menusuk, tidak hanya kepadaku tapi juga disegenap hati orang-orang disepanjang jalan dan disudut-sudut lorong itu.
“Ada keanehan yang saya rasakan,” seorang berbisik kepada seorang yang lainnya. Di suatu malam ketika sekumpulan orang tua yang hanya bersarung asyik berbincang tentang malam dengan ditemani kopi tubruk dan goring ubi. Sebelumnya mereka asyik berbincang tentang nomor buntut, bola juga pertandingan domino yang digelar di kelurahan seminggu yang lalu sambil memndangi anak-anak mereka yang sedang bermain bola..
“Keanehan apa?” yang lainnya menyahut.
“Saya baru sadar betapa kumuhnya jalan ini. Dan saya jadi sadar, kalau selama puluhan tahun saya besar dan tua di jalan ini”
“Saya juga mulai merasakannya,” sahut yang lainnya.
“Saya asing. Iya, asing,” seorang menjawab tergagap lalu diam.
Lalu, “Aco, Ali, ayo masuk nak, pergi tidur sudah malam!” Teriak seorang bapak dengan suara yang berat dan lamban. Jalan itu langsung sepi, tak ada lagi yang tinggal bermain bola. Tinggal bapak-bapak tua itu, ditepi jalan dibawah lampu.
Semuanya serentak memandangi sinar yang menghujani mereka. Sinar putih kekuningan. Sinar merkuri. Kemudian mereka menoleh ke kumpulan orang-orang mabuk yang bernyanyi di bawah merkuri lainnya, disudut jalan lainnya. Lalu satu persatu masuk ke lorong gelap di belakang bangunan kayu bertingkat, sambil tertunduk. Diam. Lalu sepi
Malam ini malam ketujuh jalan di depan rumahku terlihat sepi, tak ada lagi anak-anak muda tanggung yang berbicara tentang mimpi. Tak ada bapak tua yang main catur. Tak ada lagi bocah-bocah yang keringatnya berkilat-kilat memantulkan sinar lampu ketika sedang bermain bola. Juga tidak ada lagi pemabuk-pemabuk yang ribut bernyanyi di sudut jalan lainnya. Semuanya seperti tersadar betapa kusamnya potret tempat mereka pernah menggantungkan harapan. Betapa kumuhnya hidup mereka selama ini. Yang tinggal hanyalah sinar merkuri itu. Tampak kesepian dengan sinar putih kekuningannya, hanya ditemani sampah, anyir selokan dan kumuhnya malam.
Malam ini terasa agak lain. Sinar itu sudah tidak ada. Entah kapan lampu Merkuri itu pecah. Jalanan jadi gelap kembali, tak berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Dan sejak itu satu persatu anak-anak muncul kembali, bermain petak umpet. Juga pemabuk-pemabuk mulai minum lagi diatas meja penjual ikan, tepat di bawah lampu merkuri yang sudah pecah bohlamnya. Irama jalan itu kembali lagi. Jalan itu memang masih tetap kusam dan kumuh tapi lampu itu juga sudah pecah, bersama menguapnya keterasingan. Mungkin, di jalan itu tak ada lagi yang menyesali nasib.